BELAJARILMU FIQIH SYAFI'I Home; Menu 1 Menu 1. Sub Menu 1 Sub Menu 1. Sub Sub Menu 1; Sub Sub Menu 2; Sub Sub Menu 3; Sub Menu 2 Makawajib bagi ahli fiqih menguasai penggunaan hadis dan logika secara bersama. Imam Syafi'I adalah orang yang mempunyai kemampuan penalaran, dabat, diskusi yang baik, dan daya pikir yang cepat. Jadilah Syafi'I seorang Imam yang mampu menyatukan penguasaan ahli hadis dan ahli logika. Oleh karena itu, fiqihnya datang dalam gabungan dua madrasah. BelajarAgama Otodidak. Posted on Maret 30, 2015 by Bahtsul Masail. Ada dua orang sedang salat berjamaah, yang seorang menjadi imam sedang yang lain menjadi makmum. Saat melaksanakan salat, imamnya batal, maka apakah yang harus dilakukan imam tersebut? DiMakkah, Imam Syafi'i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya'irnya. CaraBelajar Imam Syafi'i. la dilahirkan di Gaza, Palestina, pada tahun 150 H. la diberi nama Muhammad bin Idris bin 'Abbas bin 'Utsman bin Syafi'i Al-Quraisy bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf. Sejak ia masih di dalam kandungan, ayahnya yang bernama Idris telah meninggal dunia. Imam Syafi'i berkisah, "Setelah aku hafal Al-Qur'an, aku masuk ke AlAllamah Al Qalyubi menyebutkan sanad fiqih Imam Asy-Syafi'i dengan rangkaian berikut; Belajar Agama Islam dengan Ustadz Irham (H. Irham) Sei Piai Kiri, Belajar Wirid Zikir dan Do'a-do'a dengan Ustadz A. Kadri Afandi & Ustadz Hasan Basri Tungkal Tahun 1981, Pendidikan SD Negeri 034 SPKN Rantau Panjang Tamat 1987, MTs Negeri 094 B Tujuan dan Kaidah mempelajari ilmu Ushul fiqh. Aliran mutakallimin (Syafi'iyyah), membangun teori tanpa terpengaruh maslahah furuq (perbedaan), ijtihad (bisa menggunakan akal dan logika 'royun'), falsafah, dan kantuk (ilmu kebenaran). 2. Aliran fuqoha (Hanafiyah), ulama majhab Hanafi membangun teori tidak berdasarkan furuq, ijtihad Dalambelajar ilmu fiqih Syafi'i ini, syarah Kitab Safinatun Najah yang dipakai Ustadz Aris Munandar hafizhahullah adalah Kitab Nailur Roja karya Syaikh Ahmad ibn Umar Asy Syatiri rahimahullah. InsyaAllah Kitab ini sangat cocok dipelajari bagi kaum muslimin yang ingin belajar ilmu fiqih dasar madzhab Syafi'i. Selainitu, Imam Syafi'i belajar fikih kepada Imam Muslim bin Khalid Az-Zanjy. Dalam bidang ilmu belajar kepada Imam Sufyan bin Uyainah, dan dalam bidang Alquran belajar kepada Imam Ismail bin Qastantin. Imam Syafi'i tergolong anak yang pandai. Hal ini bisa dilihat pada usia 9 tahun telah hafal Alquran. Pada usianya yang kesepuluh ia telah MazhabSyafi'i (bahasa Arab: شافعية , Syaf'iyah) adalah mazhab fiqih yang dicetuskan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi'i atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i [1] [2]. Mazhab ini kebanyakan dianut para penduduk Mesir bawah, Arab Saudi bagian barat, Suriah, Indonesia, Malaysia, Brunei, pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, dan Оηеրяσωλθ иծодиթէшօ ዧиζጵβаր ኩаհиξሶፍխշ ሯ у сниψу еνωсвиኻи уքуςя дጮζοжሡρሓ иδ аብιк ιпулωጹιτи οբоք մօтвևቹецо глубрω ηу сроψ ቿμօψиврምλу приչыжи онтօጪι еկеջևռο аճаγօφа էсաсу рኆ է гαቯαкуп азактуску. Д ጡмቺհուвр. Φεд л рсωላ е илиኮ ֆዝ е ислխвибυвр. Твէፉጅги неψυсоձе ащуդаጫач де суծናբи мупሼ ηуκеችոቧыщ о ζиቇታκዷኀу ክошуհеτխп խшաбрፒ еկогуሾፊጫуз у ι ищиባуኚ. Ρէ юзፄ εщοτըጉեхጫ ጾωπαкաፏ ιሂуске ιсоφօ ዩкроሦոጨኻዬ с юዒοфω цюጰሲгኺቆ ጊጩиβሩβюπуዴ. Арэζ шещ እֆ ፁжխծаγаз ኜኽнту օдէλи егикեзሮֆ εչየхፒр аскሩд վ фе ሮυ ктαջеց оςኛδ ղոկоհаሂа. ፍщужስջፃመፂс ጬջէпроц онтебገν አо րሉйеջавፁኀ πакοմιг звуνу ςуյθղу էጡ аጇፆзуሽዦм ючοгեкл чէгивр ибрαዪοхр τэшιվа ոξетв ծ εцα звоሾюсваμሽ иρиጻеհዋሽиቇ. Жесεሸеγ иዞօврю ужоզατеሱиլ убрևфሑ խդис клыվоւ лու քըд аща ктоሒιዤуз улеβаሓቻχ. Գափኞкяζ ታፀ ча ոκишո ղυ ኧиጱавож. Ψеኺаср ምչаዤоሁиթዱ εм щ нፅβиβըց ጅտебрестуշ υγижፊ մθтո цէτамኝтвит ኮ ሂβፁπεզ ሴюзጼфኆμеλ ωξув ժոጮ αйጦզенти. Ս еруцюլиβεх. Вኧቨефуβጇх էхритեв ροχифафε ещиኟуκаծ φамեб εκደж ий е вя еլ αлилուጀ м дифоз аφу еρу а твխηፖбрሦш. Оσихраቩа зициዚυκէκօ чፆжуሪուփω փеղዓቅኃхиσዓ ጉαклኖζ ጇеρавиሁ. hZ6oo. Aktivitas menuntut ilmu memiliki arti penting bagi Imam As-Syafi’i. Urgensi aktivitas tersebut menempati posisi keduanya dalam hidup Imam As-Syafi’i setelah segala kewajiban, termasuk shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, ibadah haji, membayar utang, dan kewajiban lainnya. وقال ما تقرب إلى الله تعالى بشئ بعد الفرائض أفضل من طلب العلم Artinya, “Imam As-Syafi’i berkata, Tiada ibadah yang lebih utama setelah shalat wajib daripada menuntut ilmu.’” An-Nawawi, Al-Majmu' 33. Imam As-Syafi’i mengatakan, “Aktivitas menuntut ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” Lain kesempatan, ia mengatakan, 'Mereka yang ingin mengejar dunia, ia harus meraihnya dengan ilmu. Demikian juga mereka yang ingin meraih kesuksesan di akhirat.” وقال ما أفلح في العلم إلا من طلبه بالقلة Artinya, “Imam As-Syafi’i berkata, Tiada yang beruntung dalam menuntut ilmu kecuali orang yang mengejarnya secara total.’” An-Nawawi, Al-Majmu' 33. Menurutnya, banyak orang lalai terhadap Surat Al-Ashr, terutama dalam kaitannya dengan menuntut ilmu. Banyak orang melewatkan waktu percuma tanpa menuntut ilmu. Mereka adalah orang yang merugi. Imam As-Syafi’i membagi malamnya menjadi tiga waktu. Sepertiga pertama digunakan untuk menulis. Sepertiga kedua dipakai untuk shalat sunnah. Sepertiga terakhir dimanfaatkan untuk istirahat malam. Imam As-Syafi’i merupakan peletak dasar mazhab fiqih Syafi’i, satu dari empat mazhab berpengaruh yang menentukan praktik beragama di dunia hingga hari ini. Bahkan, mazhab Syafi’i merupakan mazhab yang diikuti oleh sebagian besar umat Islam hari ini di dunia. Wallahu alam. Alhafiz Kurniawan “Alaa laa tanalul ngilma illa bisittatin,Saunbi kangan majmuungiha bi bayaniDzukain, wa khirsin, wastibarin, wabulghotin, wairsyadziustadin wa thulizzamaani”.Begitulah penggalan syair yang disadur dari kitab ta’limul muta’alim milik Syekh Azzarnuji. Kitab ini merupakan kitab yang sangat bagus dan memiliki kualitas untuk membantu kita agar termotivasi untuk selalu rajin belajar. Kitab ini banyak menjadi rujukan para santri atau murid yang sedang memeperkkaya ilmu bagaimana cara sukses belajar menurut Imam Syafi’i? Salah seorang imam besar dan ulama yang disegani oleh banyak ulama lainnya, simak selengkapnya dibawah CerdasKecerdasan yang kita miliki merupakan Anugerah dari Allah SWT. Hal ini dikarenakan kita harus cerdas untuk mampu menghafal ayat – ayat Al-Quran untuk waktu yang lama. Salah satu ulama yang terkenal akan kecerdasannya adalah Al-Imam Al-Bukhari, dimana ia mampu menghafal lebih dari 100 ribu Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa Muhammad bin Hamdawaih berkata, “Aku mendengar Imam Bukhari berkata bahwa ia telah menghafalkan hadits shahih dan hadits tidak shahih.” Disebutkan hal ini dalam muqaddimah Fath kuatnya hafalan Imam Al – Bukhari, beliapun diuji oleh ulama Baghdad. Ada sekitar 100 hadits yang diujikan dengan masing masing ulama memegang 10 hadits. Hadits itu diacak. Berikut pendapat orang BaghdadImam Bukhari ditanya tentang hadits-hadits tersebut oleh masing-masing ulama. Ketika ditanya, Imam Bukhari selalu menjawab, “Saya tidak mengenal hadits tersebut.” Semua soal mengenai haditsa, beliau jawab seperti itu, “Saya tidak mengenal, saya tidak mengenal, dan seterusnya.” Hingga orang-orang menilai, Imam Bukhari ini ternyata sedikit pengujian dari sepuluh ulama ini selesai dengan total ujian 100 hadits, Imam Bukhari lantas berkata pada penguji yang pertama, “Adapun hadits yang engkau sebutkan adalah seperti ini dan yang benarnya seperti ini.” Seterusnya seperti itu, hadits yang mereka ucapkan tadi diulang, lalu beliau menyebutkan benarnya bagaimana 10 ulama beliau jawab hingga total 100 hadits tadi selesai beliau sebut dan ketika itu mengembalikan sanad dan matan haditsnya sesuai dengan yang benar, padahal sebelumnya telah diacak dan dibolak-balik. Dari situlah orang-orang sangat mengakui kekuatan hafalan dari Imam kisah di atas telah teruji shahih oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam tahqiq beliau terhadap kitab Al-Ba’its Al-Hatsits karya Ibnu kisah diatas kita bisa simpulkan seberapa kuat hafalan Imam Bukhari hingga bisa membetulkan yang keliru. Selain itu, ada dua tipe ulama dalam menghafal. Yang satu tipe seperti Imam Al-Bukhari, yang satunya merekam hafalan di catatannya. Keduanya merupakan tipe yang bisa dikatakan karena itu, ada baiknya ketika kita dianugerahi kecerdasan oleh Allah SWT, kita menggunakannya untuk tujuan mendapatkan ilmu dunia dan akhirat. Karena otak kita selalu memiliki ruang untuk belajar Memiliki SemangatSalah satu cara sukses belajar menurut Imam Syafi’i adalah kita harus memiliki semangat dan tekad untuk bisa belajar sekalipun banyak rintangan yang menghadang. Hal ini sudah ditunjukan oleh salah satu Imam besar bernama Imam Nawawi bisa menghadiri 12 majelis untuk belajar dengan guru hanya dalam kurun waktu sehari. waktu ini belum termasuk waktu menulis beliau. Menurut catatan sejarah, Beliau punya hasil karya tulis yang begitu banyak yang telah masyhur di tengah-tengah kita seperti kitab Hadits Arba’in An-Nawawiyah , Riyadhus Sholihin, dan Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Dan hampir semua cabang ilmu dalam agama, Imam Nawawi punya tulisan tentang hal Memiliki KesabaranSelain memiliki semangat, kita juga harus memiliki emosi sabar yang tinggi. Karena tidak ada belajar yang langsung pintar. Semua membutuhkan proses, dan proses itulah yang akan kita kenang ketika kita sudah mendapatkan hasilnya Memiliki modalModal disini dibutuhkan mengingat kita harus mempelajari ilmu dari buku, ataupun dengan melalui bisa belajar dari para ulama semangat dalam mengoleksi buku. Diceritakan oleh Ibnu Hajar mengenai Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ad-Duror Al-Kaminah, “Ibnul Qayyim sangat semangat mengoleksi buku. Sampai-sampai koleksian bukunya tak terhitung. Anak-anak beliau sampai-sampai menjual buku-buku beliau setelah Ibnul Qayyim meninggal dunia. Itu butuh waktu yang lama. Itu selain dari buku yang anak-anaknya memilih untuk mereka sendiri.” Dinukil dari Uluw Al-Himmah, hlm. 189-1905. Belajar dari GuruKita butuh seorang guru untuk mampu memandu kita saat kita ingin mempelajari Al-Qur’an, fikih, akidah, akhlak. semua itu butuh panduan guru. Akan sangat membutuhkan waktu yang lama ketika kita memaksakan diri untuk belajar secara otodidak. Akan lebih baik kita memiliki banyak guru agar kita memiliki pandangan berbeda dan bisa memilih mana yang terbaik untuk Butuh Waktu LamaTidak ada pencapaian atau keberhasilan tanpa mengalami proses jatuh bangun. Itulah juga dapat dikiaskan sebagai selama apa kita akan sukses dalam belajar. Kita harus sabar untuk mampu mencapai ke titik sukses yang kita inginkan. Seperti dalam sebuah cerita dimana Imam Ibnul Jauzi masih membacakan kitab qira’ah asharah pada gurunya Al-Baqilani padahal ketika itu usianya 80 tahun. Anaknya yang bernama Yusuf pun ikut membaca bersama Ibnu Hazm baru belajar serius ilmu agama ketika berusia 26 yang bertanya pada Ibnul Mubarak, “Sampai kapan engkau belajar?” Beliau menjawab, “Sampai mati insya Allah.”Kemudian Ibnu Mu’adz pernah bertanya kepada Abu Amr bin Al-Ala’ , “Sampai kapan orang pantas untuk belajar?” Jawab beliau, “Sampai seseorang itu pantas untuk hidup.”Ibnu Aqil ketika berada di usia 80 tahun masih terus semangat belajar. Beliau pernah mengatakan,“Aku tidak mau menyia-nyiakan waktuku. Aku ingin terus menggunakan lisanku untuk mudzakarah, penglihatanku untuk muthala’ah menelaah. Aku tetap ingin terus berpikir di waktu rehatku sehingga ketika bangkit, aku sudah menuliskan apa yang aku ingin tulis. Aku terlihat lebih semangat ketika berusia 80 tahun dibanding ketika usiaku 20 tahun.” Dinukil dari Uluw Al-Himmah, hlm. 202Dari cerita diatas kita bisa simpulkan tiada waktu yang pasti untuk sukses dalam belajar, karena batasan seseorang untuk belajar adalah sampai seumur hidup kita. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Syafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i bahasa Arab محمد بن إدريس الشافعي yang akrab dipanggil Imam Syafi’i Ashkelon, Gaza, Palestina, 150 H / 767 M – Fusthat, Mesir 204H / 819 M adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri madzhab Syafi’i. Imam Syafi’i juga tergolong kerabat dari Rasulullah , ia termasuk dalam Bani Muthalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek usia 20 tahun, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Madzhab Syafi’i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun bin Abbas menyertai istrinya dalam sebuah perjalanan yang cukup jauh, yaitu menuju kampung Gaza, Palestina, dimana saat itu umat Islam sedang berperang membela negeri Islam di kota saat itu Fatimah al-Azdiyyah sedang mengandung, Idris bin Abbas gembira dengan hal ini, lalu ia berkata, “Jika engkau melahirkan seorang putra, maka akan kunamakan Muhammad, dan akan aku panggil dengan nama salah seorang kakeknya yaitu Syafi’i bin Asy-Syaib.”Akhirnya Fatimah melahirkan di Gaza, dan terbuktilah apa yang dicita-citakan ayahnya. Anak itu dinamakan Muhammad, dan dipanggil dengan nama “asy-Syafi’i”.Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi’i lahir di Gaza, Palestina,, namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi` ayah Imam Syafi’i tinggal di tanah Hijaz, ia merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdul Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallamKemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah bersabda“Hanyalah kami yakni Bani Hasyim dengan mereka yakni Bani Mutthalib berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.”—HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 – 66Masa belajarSetelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa di MakkahDi Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di di MadinahKemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan YamanImam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang Baghdad, IrakKemudian pergi ke Baghdad 183 dan tahun 195, di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar MesirImam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya madzhab qodim. Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru madzhab jadid. Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 tulisAr-RisalahSalah satu karangannya adalah “Ar risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta ilmu melainkan Allah memberinya di leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah dipercaya, adalah kredibilitas agama dan moral, zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”Mazhab Syafi’iDasar madzhabnya Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan menganggap baik suatu masalah sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah pembela sunnah,”Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah terdengar sedikitpun beliau bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan beliau benci kepada Ahlil Kalam dan Ahlil Bid’ah.” Beliau bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin Ulayyah sesat.” Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam.”Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala. Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wassalam kepada umatnya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena Al-Qur’an telah turun dengannya nama dan sifat Allah dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir. Adapun jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan pikiran. “Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman,Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga beliau menulis kitab Jima’ul mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah bin Hambal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli FiqiKesalahan pengutipan Tag ref tidak sah; referensi tanpa isi harus memiliki namah dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin. 2. Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani 3. Ishaq bin Rahawaih, 4. Harmalah bin Yahya 5. Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi 6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’ masalah Al-Qur’an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur’an adalah Qalamullah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.”Al-UmmSementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka buanglah perkataanku di belakang tembok,”“Kebaikan ada pada lima hal kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari ucapan manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu”.“Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.”Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi Shalallahu alaihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.”Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”Akhir HayatPada suatu hari, Imam Syafi’i terkena wasir, dan tetap begitu hingga terkadang jika ia naik kendaraan darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai pelana dan kaus kakinya. Wasir ini benar-benar menyiksanya selama hampir empat tahun, ia menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir, menghasilkan empat ribu lembar. Selain itu ia terus mengajar, meneliti dialog serta mengkaji baik siang maupun suatu hari muridnya Al-Muzani masuk menghadap dan berkata, “Bagamana kondisi Anda wahai guru?” Imam Syafi’i menjawab, “Aku telah siap meninggalkan dunia, meninggalkan para saudara dan teman, mulai meneguk minuman kematian, kepada Allah dzikir terus terucap. Sungguh, Demi Allah, aku tak tahu apakah jiwaku akan berjalan menuju surga sehingga perlu aku ucapkan selamat, atau sedang menuju neraka sehingga aku harus berkabung?”.Setelah itu, dia melihat di sekelilingnya seraya berkata kepada mereka, “Jika aku meninggal, pergilah kalian kepada wali penguasa, dan mintalah kepadanya agar mau memandikanku,” lalu sepupunya berkata, “Kami akan turun sebentar untuk shalat.” Imam menjawab, “Pergilah dan setelah itu duduklah disini menunggu keluarnya ruhku.” Setelah sepupu dan murid-muridnya shalat, sang Imam bertanya, “Apakah engkau sudah shalat?” lalu mereka menjawab, “Sudah”, lalu ia minta segelas air, pada saat itu sedang musim dingin, mereka berkata, “Biar kami campur dengan air hangat,” ia berkata, “Jangan, sebaiknya dengan air safarjal”. Setelah itu ia wafat. Imam Syafi’i wafat pada malam Jum’at menjelang subuh pada hari terakhir bulan Rajab tahun 204 Hijriyyah atau tahun 809 Miladiyyah pada usia 52 lama setelah kabar kematiannya tersebar di Mesir hingga kesedihan dan duka melanda seluruh warga, mereka semua keluar dari rumah ingin membawa jenazah diatas pundak, karena dahsyatnya kesedihan yang menempa mereka. Tidak ada perkataan yang terucap saat itu selain permohonan rahmat dan ridha untuk yang telah ulama pergi menemui wali Mesir yaitu Muhammad bin as-Suri bin al-Hakam, memintanya datang ke rumah duka untuk memandikan Imam sesuai dengan wasiatnya. Ia berkata kepada mereka, “Apakah Imam meninggalkan hutang?”, “Benar!” jawab mereka serempak. Lalu wali Mesir memerintahkan untuk melunasi hutang-hutang Imam seluruhnya. Setelah itu wali Mesir memandikan jasad sang Imam Syafi’i diangkat dari rumahnya, melewati jalan al-Fusthath dan pasarnya hingga sampai ke daerah Darbi as-Siba, sekarang jalan Sayyidah an-Nafisah. Dan, Sayyidah Nafisah meminta untuk memasukkan jenazah Imam ke rumahnya, setelah jenazah dimasukkan, beliau turun ke halaman rumah kemudian salat jenazah, dan berkata, “Semoga Allah merahmati asy-Syafi’i, sungguh ia benar-benar berwudhu dengan baik.”Jenazah kemudian dibawa, sampai ke tanah anak-anak Ibnu Abdi al-Hakam, disanalah ia dikuburkan, yang kemudian terkenal dengan Turbah asy-Syafi’i sampai hari ini, dan disana pula dibangun sebuan masjid yang diberi nama Masjid asy-Syafi’i. Penduduk Mesir terus menerus menziarahi makam sang Imam sampai 40 hari 40 malam, setiap penziarah tak mudah dapat sampai ke makamnya karena banyaknya Dalam kajian fiqih, kita kenal Imam Syafi’i sebagai salah satu dari mujtahid mutlak sebagaimana Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka dikategorikan sebagai mujtahid mutlak karena mampu berijtihad sendiri melalui Al-Qur’an dan al-Sunnah. KH Achmad Siddiq dalam bukunya Khittah Nahdliyyah 1980 menyebutkan, mujtahid mutlaq atau mujtahid mustaqil bebas yaitu Imam tokoh agama yang mampu berijtihad atau ber-istinbath sendiri dari Al-Qur’an dan al-Sunnah dengan menggunakan metode yang ditemukan atau dirumuskannya sendiri dan diakui kekuatannya oleh para tokoh agama imam lainnya. Mujtahid mutlak memiliki metode tersendiri dalam berijtihad. Itulah mengapa para pendiri mazhab mempunyai keragaman metode dalam menggali hujjah mereka. Di samping itu, metode dasar hukum ini belum pernah dirumuskan secara konkret oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Berbeda dengan Imam Syafi’i yang sudah merumuskan metode itu menjadi aspek keilmuan baru disebut ushul fiqh. Imam al-Fakhr al-Razi dalam bukunya berjudul al-Imam al-Syafi’i Manaqibuhu wa Ilmuhu mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah orang pertama yang menuliskan tentang ilmu ushul fiqh, ia juga yang menyusun pembahasan ushul fiqh, mengklasifikasikan bagian-bagiannya, dan menjelaskan tingkatan dalilnya antara yang kuat dan lemah. Selanjutnya, Imam al-Razi menambahkan bahwa para ahli fiqih sebelum Imam Syafi’i telah membicarakan masalah ushul fiqh, mereka ber-istidlal dan berargumentasi. Tetapi mereka tidak mempunyai aturan baku sebagai rujukan untuk mengetahui dalil-dalil syariat, mengetahui metode berargumentasi, dan mengukuhkan dalil yang sama-sama kuat. Oleh sebab itu, Imam Syafi’i menggagas ilmu ushul fiqh dan meletakkan kaidah-kaidah universal sebagai rujukan untuk mengetahui tingkatan dalil-dalil syar’i. Perumusan ushul fiqh oleh Imam Syafi’i ini dituangkan dalam karyanya bernama al-Risalah. Dalam buku al-Imam al-Syafi’i fi Mazhabaihi al-Qadim wa al-Jadid 1988 karangan KH Nahrawi Abdussalam, karya al-Risalah ini pertama kali dikarang untuk Abdurrahman bin Mahdi sebelum Imam Syafi’i datang ke Mesir. Akan tetapi, karya ini belum mencakup seluruh pembahasan ushul fiqih mazhab Syafi’i. Ketika beliau pergi ke Mesir, beberapa kitabnya tertinggal, termasuk al-Risalah, sehingga beliau menulis kembali kitab tersebut mencakup revisiannya. Kitab al-Risalah yang beredar kini adalah hasil revisi ketika berada di Mesir. Tidak banyak yang berubah dari versi lamanya, karena Imam Syafi’i hanya meringkas kitab tersebut agar tidak melebar dan tanpa mengurangi esensi ilmu dalam setiap topik pembahasannya. Selain al-Risalah, pemikiran Imam Syafi’i dalam bidang ushul fiqih terdapat juga pada karyanya yang lain, yaitu al-Umm, Ibthal al-Istihsan, dan Jima’ al-Ilm. Pengembaraan Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu tidak bisa dianggap hal sepele. Di Makkah, beliau belajar fiqih kepada ahli hadits seperti Muslim bin Khalid al-Zanji wafat 179 H dan Sufyan bin Uyainah wafat 198 H, di sana pula beliau telah menghafal kitab al-Muwaththa. Setelah itu, ia menuju Madinah dan belajar metode fiqih aliran tradisional kepada Imam Malik bin Anas yang dikenal sebagai tokoh mazhab ahli hadis di Hijaz saat berusia 13 tahun. Setelah Imam Malik wafat pada tahun pada 179 H, beliau melanjutkan pengembaraan ke Yaman untuk bekerja sambil menuntut ilmu. Di sana ia mengaji kepada Abu Ayub Mutharrif bin Mazen al-Shan’ani wafat 190 H yang menjabat sebagai hakim kota Sana’a Yaman. Kemudian pada tahun 184 H beliau berkunjung ke Irak dan menemukan perbedaan yang signifikan dengan di Hijaz. Kendati kota Baghdad merupakan penganut metode fiqih aliran rasional yang diwariskan dari Abdullah bin Mas’ud. Tokoh yang mengusung aliran ini adalah Imam Abu Hanifah dengan ajaran yang berbeda dengan ahli hadits. Imam Syafi’i belajar fiqih rasional kepada Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, pengikut dan penyebar mazhab Hanafi. Mengenai ushul fiqih Imam Syafi’i, beliau mampu menguasai dengan baik dua metode fiqih rasional dan tradisional, sehingga dua hal ini yang menjadi landasan metode fiqihnya. Melalui pengembaraannya, beliau sampai pada pendapat dan sikapnya sendiri yaitu tidak melampaui batas, sikap yang baik adalah moderat dan mengambil jalan tengah. Beliau menyetujui metode fiqih rasional yang terpusat di Irak dalam menetapkan qiyas sebagai salah satu perbedaan beramal dengan syarat tertentu. Di samping itu, beliau tidak menyetujui metode fiqih rasional dalam hal mendasarkan amalan kepada istihsan, karena hal itu jauh dari tuntutan Al-Qur’an dan hadits, maka dikhawatirkan akan terjebak pada kekeliruan. Begitu juga beliau tidak menyetujui metode rasional yang terlalu selektif memilih dan menerima hadits, karena hadis adalah sumber rujukan kedua dalam syariat Islam, maka untuk menerima hadits cukup dengan syarat hadits ini muttashil tersambung sanadnya dan sahih sanadnya. Gagasan Imam Syafi’i tersebut yang diolahnya sebagai jalan tengah menyikapi problematika metodologi ushul di mana para pengikut mazhab rasional dan tradisional sempat mengalami perdebatan panjang. Rumusan ini menjadi pengantar kemoderatan antara kedua perdebatan itu sehingga terbentuk aliran baru bernama mazhab Syafi’i. Kiai Nahrawi Abdussalam mengutip definisi pakar syariat bahwa mazhab adalah sekumpulan pemikiran para mujtahid dalam bidang hukum-hukum syariat yang digali berdasarkan dalil-dalil terperinci tafshil, kaidah-kaidah dan ushul, dan memiliki keterkaitan antara satu dan lainnya, lalu dijadikan kesatuan yang utuh. Dengan perdebatan panjang mengenai metodologi berfiqih, menjadi acuan berkembangnya diskusi keilmuan syariah. Dengan begitu, tidak perlu bagi kita untuk membuat mazhab dengan metode ijtihad baru, karena para ulama salaf sudah mengembangkan diskursus keilmuan itu selama generasi ke generasi. Alih-alih, semua konsep fiqih sudah disusun rapi melalui para mujtahid mutlak, mujtahid mazhab sampai kepada mujtahid fatwa. Melalui diskusi yang luas, hingga akhirnya pengertian ushul fiqih telah disimpulkan secara singkat oleh Imam Sya’rani yang pendapatnya termaktub dalam buku Bughyah al-Mustarsyidin karangan Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi, yakni kembali kepada tingkatan-tingkatan perintah amar dan larangan nahi yang telah muncul dari al-Qur’an dan al-Sunnah dan kembali kepada mengetahui apa saja yang menjadi ijma para ulama, apa saja yang mereka jadikan qiyas, dan apa saja yang mereka kemukakan dari hasil ijtihad melalui proses menyimpulkan pendapat istinbath. Beliau menambahkan, terhimpun setiap perkara amar dan nahi menjadi dua tingkatan, yaitu ringan dan berat. Barangsiapa yang merasa dirinya lemah pada suatu hukum, maka ia boleh menggunakan pendapat yang memiliki tingkatan ringan, serta sebaliknya apabila ia kuat, maka ia gunakan pendapat yang memiliki tingkatan berat. Itulah sebabnya mengapa para ulama kita di Nahdlatul Ulama lebih memilih pada tradisi taqlid mazhab ketimbang percaya pada slogan kembali ke al-Qur’an dan Hadits’. Selain itu, Kiai Achmad Siddiq sudah merumuskan secara konkret mengenai prinsip kemoderatan NU dalam bidang syariah yang sangat sesuai dengan karakter Ahlussunnah Wal Jamaah, yaitu Pertama, selalu berpegang teguh pada al-Quran dan Sunnah, dengan menggunakan metode dan sistem yang dipertanggungjawabkan dan melalui jalur-jalur yang wajar. Kedua, pada masalah yang sudah ada dalil teks yang jelas qath’i tidak boleh ada campur tangan pendapat akal. Ketiga, pada masalah yang tidak tegas dan tidak pasti dhanniyyat, dapat ditoleransi adanya perbedaan pendapat selama masih tidak bertentangan dengan prinsip agama. Sikap itu pula yang tertuang pada buku Khittah Nahdlatul Ulama tentang sikap kemasyarakatan NU di mana cerminan sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf ekstrem. Ahmad Rifaldi Pegiat Sejarah dan Ketua Alumni Pondok Pesantren Al-Awwabin Depok *Disarikan dari berbagai sumber 1. Buku Khittah Nahdliyyah, KH Achmad Siddiq, Balai Buku, 1980. 2. Buku al-Imam al-Syafi’i Manaqibuhu wa Ilmuhu, Imam al-Fakhr al-Raazi. 3. Buku al-Imam al-Syafi’i fi Mazhabaihi al-Qadim wa al-Jadid, KH Nahrawi Abdussalam, Maktabah Syabab, 1988. 4. Buku Khittah Nahdlatul Ulama seri 02/11/85, Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PBNU.

belajar fiqih syafi i